Fase-fase Takabbur

"Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, sebagai wujud kasih sayang terhadap mereka"

Hati tidaklah diciptakan untuk bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Memang benar, makanan dan minuman dapat dinikmati oleh mulut, pe­mandangan yang indah dapat pula di­nikmati oleh matamu, demikian pula se­gala sesuatu yang dibolehkan untuk di­nikmati oleh nafsumu dan semua anggota tubuh yang berkaitan dengannya ber­da­sarkan bentuk-bentuk kenikmatannya ma­sing-masing. Akan tetapi, tidaklah pa­tut bagi hati untuk memiliki ketergantung­an terhadap kesenangan-kesenangan dunia itu. Sesungguhnya cinta terhadap dunia adalah pangkal setiap kesalahan.

Karenanya, tampillah terhadap hati­mu untuk mengobati masalah ini, yakni hubbud dunya (cinta dunia). Dan untuk mengobati masalah ini, langkah yang harus ditempuh adalah melepaskan diri dari masalah ini. Yakni bagaimana kita memahami maksiat-maksiat hati dan ba­gaimana membersihkannya dari segala bentuk maksiat. Pondasinya, kubahnya, ataupun juga atapnya.

Setiap bentuk kemaksiatan hati me­miliki kaitan erat dengan hubbud dunya, cinta kepada dunia. Dan cinta kepada du­nia memiliki beberapa unsur. Di antara un­sur-unsur cinta dunia itu adalah takab­bur, hasud, dan riya’. Itulah sebabnya, eng­kau membutuhkan cara untuk menyi­kapi semua unsur tersebut agar dapat melepaskan hatimu dari semua unsur itu sehingga hatimu dapat selamat dari cinta kepada dunia.

Selain itu, tampillah terhadap hatimu untuk membersihkannya dengan meng­hindarkan hatimu dari berburuk sangka ke­pada manusia, merendahkan mereka, atau merasa lebih mulia dari mereka.

Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, se­bagai wujud kasih sayang terhadap me­reka. Nabi S.a.w bersabda, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Maha Ssuci lagi Maha Tinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”. Para ulama menyebut hadits ini al-musalsal bil awwaliyah.

Apa yang dimak­sud dengan musalsal bil awwaliyah? Musalsal bil awwaliyah maknanya adalah setiap hadits yang diterima dari gurunya dengan mengucapkan, “Guruku, Fulan, mengatakan kepadaku dan per­tama kali yang aku dengar darinya adalah hadits ini....”

Mengapa pertama kali yang disam­paikan dan diperdengarkan adalah sabda Nabi S.a.w, “Orang-orang yang penuh cin­ta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”?

Para ulama mengatakan, karena awal mula seorang penuntut ilmu mende­ngarkan ilmu dalam hadits Nabi S.a.w berupa hadits rahmat merupakan per­mulaan yang memberikan kesiapan awal yang benar bagi mereka di dalam mema­hami makna-makna bagaimana bersikap dengan ilmu. Kesiapan itu akan menjadi­kan para penuntut ilmu semakin bertam­bah sifat rahmatnya terhadap makhluk setiap kali bertambah ilmunya, sehingga bertambah pula kedekatannya kepada Allah S.w.t.

Jika kita datangi satu per satu pe­nyakit-penyakit hati, kita akan mendapati bahwa yang paling berbahaya, paling da­lam, paling sulit dikenali, paling berat, dan yang paling sulit untuk dihadapi dari pe­nyakit-penyakit hati, adalah tiga penyakit itu. Yakni takabbur, hasud, dan riya’. Ke­tiga penyakit ini adalah penyakit hati dan tempatnya pun di dalam hati, yang selan­jutnya diterjemahkan dalam berbagai ben­tuk tindakan, baik berupa perbuatan maupun ucapan.

Maksiat pertama dari maksiat-mak­siat hati adalah takabbur, sombong. Pe­nyakit ini asal mulanya adalah penyakit yang sangat halus bernama ujub.

Apa itu ujub? Ujub adalah pengakuan dan penisbahan atas kelebihan yang dimiliki kepada diri sendiri bukan kepada taufiq Allah S.w.t.

Engkau sukses dalam satu pekerja­an, misalnya, lalu engkau katakan, “Ini karena kebrilianan dan strategi yang aku terapkan. Ini hasil jerih payahku.”

Wahai saudaraku, banyak orang yang juga memiliki strategi dan kemampuan yang lebih hebat dari apa yang engkau lakukan. Akan tetapi mereka tidak sukses seperti dirimu. Apakah yang membeda­kan antara mereka dan dirimu?

Ia berkata, “Bisa saja situasi dan kon­disinya.”

Lalu siapakah yang mengatur segala kondisi dan keadaan? Bukankah semua­nya di bawah pengaturan Allah SWT?

Bila seseorang melihat dirinya memi­liki kemampuan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, mi­salnya, dari manakah kemampuan itu ber­asal?

Ia berkata, “Aku berusaha dan bersu­sah payah serta dengan jerih payahku men­datangi guru-guru.”

Benar. Akan tetapi siapa yang mem­berimu taufiq untuk dapat melakukan se­mua itu? Allah S.w.t!

Bila engkau mampu untuk meng­him­pun satu kadar tertentu dari harta, yang di­pan­dang bernilai dalam pandangan manusia, dan engkau infakkan di jalan kebaikan, memang benar engkaulah yang mengeluarkan semua itu. Akan te­tapi siapa yang memberimu ilham untuk melakukan hal itu? Tidak lain adalah Allah S.w.t!

Menisbahkan kelebihan dan keuta­maan yang dimiliki kepada diri sendiri, itu­lah yang disebut ujub. Yakni kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. Dan ujub itulah asal mula penyakit takabbur yang berada dalam diri manusia.

Bila dalam diri seseorang terdapat ujub, akan muncullah takabbur. Pohon ta­kabbur itu pun akan tumbuh subur di da­lam hatinya.

Ketahuilah, sesungguhnya takabbur memiliki dua sisi. Sisi bathin dan sisi lahir. Dan sisi bathin takabbur adalah pengaku­an terhadap kelebihan diri sendiri atas orang lain.

Apa maknanya?

Maknanya, “Aku melihat diriku lebih mulia dari orang lain. Aku lebih utama dari orang lain. Aku lebih baik dari orang lain.” Inilah yang dikatakan oleh Iblis. Ia ber­kata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Aku lebih baik darinya. Eng­kau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” — QS Al-A`raf (7): 12.

Apakah sesuatu yang telah membuat Iblis menjadi hina. Sesuatu itu adalah ucapan “Aku lebih baik darinya.” Yakni Iblis memandang dirinya lebih mulia dan lebih utama dari makhluk Allah lainnya.

Apa yang kemudian dilahirkan dari pengakuan terhadap keutamaan diri sendiri terhadap orang lain? Pengakuan itu akan melahirkan perasaan merasa lebih tinggi dan lebih mulia dari orang lain.

Mahkota Para Malaikat

Takabbur pada awalnya yang muncul hanyalah sebatas perasaan yang ada di dalam hati. Namun selanjutnya perasaan itu akan berubah menjadi sikap dan tin­dakan. Inilah fase-fase takabbur. Dan berikut adalah penjelasan tentang fase-fase tersebut:

1. Dalam Hati (qalbu)

Takabbur ber­mula dalam diri seseorang dengan me­rasa kagum terhadap dirinya. Ia menis­bah­kan kelebihan dan keistimewaan yang dimilikinya kepada dirinya sendiri, tidak kepada Allah S.w.t. Selanjutnya ia mem­banding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan melihat dirinya lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan selain­nya.

Keadaan hati semacam itu akan terus berada dalam kekacauan, karena ia tidak menisbahkannya kepada karunia Allah S.w.t. Ia akan terus membanding-banding­kan. “Aku adalah ini... Aku adalah anu.... Dia hanya.... Mereka pun hanya... Mereka lebih rendah dariku!”, dan semacamnya.

Ia melihat dirinya lebih utama dari orang lain. Namun semua itu masih ber­ada dalam batasan hati. Masih berupa lintasan-lintasan yang berada dalam hati. Apa yang kemudian ditimbulkan dari kon­disi semacam itu?

2. Tindakan

Misalnya, berjalan di hadapan orang lain tapi tidak menyapa atau memberi salam kepada mereka. Ia menunggu sampai mereka yang terlebih dahulu menyapanya atau mengucapkan salam kepadanya.

Kondisi hati itu telah berubah menjadi tin­dakan dalam tingkah laku. Ia meman­dang orang lain dengan pandangan hina dan merendahkan, bergaul dengan orang lain dengan pergaulan yang kering tanpa kehangatan, dan menolak untuk mene­rima kebenaran dari orang lain bila me­reka menasihatinya. Apa yang selanjutnya dilahirkan dari tindakan-tindakan ini?

Iblis pada awalnya adalah ahli ibadah. Ia termasuk hamba Allah yang sungguh-sungguh menjalankan berbagai bentuk ibadah, sampai-sampai dikatakan bahwa tidaklah terdapat satu jengkal tanah pun di muka bumi ini kecuali ditemukan bekas sujud Iblis, sujudnya kepada Allah S.w.t. Hanya saja perbuatan itu baru berupa amal­an lahir, yang tidak disertai dengan penyucian hati. Sehingga, setiap kali su­jud, setiap kali itu pula ia merasakan per­buatannya sebagai jerih payah dirinya semata.

“Aku telah mengeluarkan ini untuk-Mu", "wahai Tuhan! Aku sudah sujud ke­pada-Mu", "wahai Rabb! Aku melakukan ini!", Aku... aku... dan aku...!. Permasalahan sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Permasalahan itu kembali kepada dirinya sendiri. Setelah itu me­ngarah kepada memandang yang lain lebih hina dan lebih rendah dari dirinya.

“Wahai Tuhanku, aku telah sujud ke­pada-Mu dan aku sudah berbuat ini dan itu untuk-Mu....”. Muncul sesuatu di dalam hatinya. Karena ibadahnya, Iblis semakin ting­gi derajatnya dan masuk ke dalam go­longan para malaikat muqarrabin. Setelah mendapatkan kedudukan itu, ia pun mulai membanding-bandingkan ke­adaan dirinya dengan keadaan para muqarrabin lainnya.

“Aku beribadah lebih banyak diban­ding­kan mereka....”

Iblis semakin berusaha keras mencari ketinggian derajat dalam ibadahnya ke­pada Allah, terus.. terus.. dan terus.. hing­ga sampai kepada derajat menjadi peng­hulu para muqarrabin. Ia dijuluki Thawus al-Malaikah (Mahkota para Malaikat).

Maha Suci Allah, sampai batasan ini muncul masalah di dalam hatinya. Ia me­nisbahkan ibadahnya kepada dirinya sen­diri dan tidak kepada Allah S.w.t. Ia ter­ja­tuh ke dalam ujub dan mulai memban­ding-bandingkan keadaan dirinya dengan yang lain. “Aku penghulu sekalian muqarrabin... aku mahkota para malaikat.”.

~ Al Habib Ali Al Jufri ~
Madrasah Hadhramaut

Baca juga:
Madrasah Hadhramaut - Takabbur
Madrasah Hadhramaut - Bahaya Takabbur
Previous
Next Post »