Hidup dan Beribadah dengan Tenang

“Hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati”

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang adakalanya menghadapi hal-hal yang tidak dikehendaki­nya. Bahkan hal itu juga terjadi saat hendak melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala. Kunci dari semua itu adalah ber­sikap tenang dan sabar, bukan panik dan tergesa-gesa. Inilah kunci yang dicon­toh­kan Nabi Muhammad S.a.w, sebagai­mana dapat kita simak pada penafsiran ayat berikut ini:

٦٣. وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً 

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan, apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan ‘salam’.”. (QS Al-Furqaan: 63).

Kata ‘ibad adalah bentuk jamak dari ‘abid, yang berarti hamba. Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa, ketika kata ini diperuntukkan kepada orang-orang mukmin, ini berarti pemuliaan (tasyrif), karena penghambaan adalah posisi yang sangat mulia, sebagaimana firman Allah tentang tujuan manusia diciptakan dalam ayat yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia me­lainkan agar menyembah kepada-Ku.”. (QS Adz-Dzariyat: 56).

Kata ‘ibad ini, kata Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya, Al-Munir, semakin jelas maknanya sebagaimana dikatakan Imam Al-Qurthubi tersebut, tatkala ayat ini disandarkan kepada nama dan sifat Allah, Ar-Rahman, yang berarti juga pemuliaan dan penghormat­an (at-tasyrif wa at-takrim).

Dalam ayat di atas, terjelaskan dua sifat ‘Ibad Ar-Rahman. Pertama, orang-orang yang berjalan di bumi dengan ren­dah hati dan penuh ketenangan. Seti­dak­nya ada dua makna dalam kelompok kata “berjalan di bumi”. Pertama, ber­jalan dalam makna hakiki. Dalam At-Tafsir al-Munir, ketika menafsirkan ayat ini, Dr. Wahbah mengisahkan bahwa, tatkala Sayyidina Umar bin Al-Khatthab R.a melihat seorang pemuda yang ber­jalan dengan sombong, beliau berko­mentar, “Sungguh, jalan seperti ini di­benci kecuali ketika berperang, dan Allah memuji kaum yang sebagaimana dise­but­kan dalam ayat yang artinya ‘Dan ham­ba-hamba Tuhan Yang Maha Peng­a­sih itu adalah orang-orang yang ber­jalan di bumi dengan rendah hati’, maka sederhanalah dalam berjalan.”.

Sedangkan makna kedua adalah “ber­jalan” dalam makna majazi. Menurut Imam Al-Qurthubi, kata “berjalan” dalam ayat ini adalah ungkapan dari seluruh interaksi manusia dalam kehidupannya. Makna bebas dari penggalan ayat ini ialah hendaklah hamba-hamba Allah hi­dup dengan tenang, berwibawa, tawadhu’, lemah lembut, dan taat kepada Allah S.w.t.

Sifat ‘Ibad Ar-Rahman yang kedua ialah, apabila orang-orang bodoh (al-jahilun) menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengu­cap­kan “salam”. Ulama tafsir dalam me­mahami makna ayat ini terbagi dua.

Pertama, memahaminya secara teks­tual. Ketika seseorang berkata dengan perkataan tidak baik, orang beriman harus mengucapkan salam. Namun, kata salam di sini bukan bermakna salam tahiyyah (penghormatan), tetapi salam tawdi’ atau tasallum (berpisah, berlepas diri).

Dengan memahami kedua sifat pada ‘Ibad ar-rahman ini dapat diambil ke­simpulan bahwa hamba-hamba Allah yang hidup di bumi ini hidup dengan ke­taatan, ketenangan, kewibawaan, dan ber­lemah lembut terhadap orang yang mencelanya dan melepaskan dirinya dari segala hujatan orang-orang yang tak mau menerima kebenaran (juhala`).


Dari Aisyah R..a, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah S.a.w tertawa begitu lepasnya sampai terlihat langit-langit mulutnya. Biasanya beliau hanya tersenyum.” (Muttafaq ‘Alaih).


Imam Al-Bukhari meriwayatkan ha­dits ini dalam kitab (bab) Adab bab (sub-bab) Senyum dan Tertawa dan kitab (bab) Tafsir bab (sub-bab) Tafsir Surah Al-Ahqaf. Sedangkan Imam Muslim me­riwayatkannya dalam kitab (bab) Keuta­maan-keutamaan Nabi bab (sub-bab) Senyuman Nabi S.a.w dan Kebaikan Per­gaulannya.

Pada hadits ini dapat diambil pelajar­an bolehnya sedikit tertawa demi mele­paskan kebahagiaan dan kesenangan bagi orang yang berada bersamanya, namun jangan berlebihan. Karena ba­nyak tertawa merupakan tanda-tanda lalai kepada Allah Ta’ala. Dikatakan da­lam sebuah ungkapan ahli hikmah, “Ba­nyak tertawa akan membuat hati sese­orang mati”. Di sisi lain, terlalu banyak ter­tawa dapat menghilangkan kewiba­wa­an dan kehormatan seseorang di ha­dapan rekan-rekannya.

Keceriaan dalam kehidupan seorang muslim adalah suatu yang dibolehkan, apalagi demi melepaskan setiap masa­lah yang terkadang mengganjal dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang lebih pen­ting dari itu, keceriaan itu dapat di­bagi kepada yang lain, sehingga mem­beri kebahagiaan dan ketenangan ber­sama.


Dari Abu Hurairah R..a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah S.a.w ber­sabda, ‘Jika shalat telah mulai dilak­sana­kan, janganlah kalian mendatanginya dengan tergesa-gesa. Datangilah de­ngan berjalan dan hendaklah bersikap tenang. Jika kamu dapati rakaatnya yang pertama, shalatlah; jika kamu tertinggal (masbuq), sempurnakanlah.” (Muttafaq ‘Alaih).

Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya, “Sesungguhnya jika salah seorang kalian bermaksud mendatangi shalat, ia dianggap sudah dalam bagian shalat.”


Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab (bab) Jum’at bab (sub-bab) Berjalan Menuju Shalat Jum’at dan kitab (bab) Adzan bab (sub-bab) Tidak Seyogyanya Terburu-buru untuk Shalat. Adapun Imam Muslim meriwa­yat­kannya dalam kitab (bab) Masjid-masjid bab (sub-bab) Diperbolehkannya Mendatangi Shalat dengan Santun dan Tenang.

Kata tenang, as-sakinah, dalam ha­dits di atas, menurut Imam An-Nawawi ialah berpelan-pelan dalam gerakan shalat dan mencegah bermain-main, ser­ta bergerak santun dalam setiap ba­gian shalat, seperti merendahkan suara dan tidak menoleh, demi tercapai ke­tenangan dan kekhusyu’an shalat.

Hadits ini menerangkan makruhnya tergesa-gesa untuk mendapatkan shalat bersama imam, lantaran hal itu dapat menyebabkan kebingungan dan tidak tenang saat memasuki ibadah shalat, sedangkan disunnahkan tatkala mema­suki shalat seseorang dalam kondisi khusyu’, santun, dan tenang. Padahal jika seseorang telah berniat menuju tempat shalatnya, telah tertulis baginya pahala keutamaan shalat, sejak dia akan berangkat menuju masjid.


Dari Ibnu Abbas R.a, bahwasanya ia meninggalkan lembah bersama Rasul­ullah S.a.w pada saat hari Arafah. Ke­mudian Nabi S.a.w mendengar di bela­kangnya orang-orang yang suara ben­takannya keras disertai pukulan atas unta dan suara lengkingan untanya. Sambil memberi isyarat dengan cam­buk­nya kepada orang-orang itu, Be­liau bersabda, ‘Wahai sekalian ma­nu­sia, hendaklah kalian bersikap te­nang. Karena sesungguhnya kebaik­an itu bukan dengan menyia-nyiakan (terburu-buru)’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).


Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam kitab (bab) Haji bab (sub-bab) Perintah Nabi agar Te­nang saat Hendak Ifadhah.

Senada dengan hadits sebe­lum­nya yang mengetengahkan bersikap tenang di dalam shalat, hadits ini mengetengahkan bersikap tenang da­lam berhaji. Sesungguhnya te­nang dan santun dalam beribadah dapat membantu menghadirkan hati yang khusyu’ dalam melaksana­kan­nya. Apalagi pahala ibadah dapat di­peroleh dengan ukuran kekhusyu’an dan menghadirkan hati di dalamnya.

Apa yang tampak di saat musim ibadah haji, ketika terjadi kesem­ra­wutan sebagian orang dalam pelak­sanaan wukuf, melempar jumrah, sa’i, thawaf, baik di Ka’bah, Mina, Arafah, maupun Muzdalifah, yang dapat mencelakai orang lain dengan cara berebutan, mendorong, me­lang­kahi, bahkan hingga berkelahi, tanpa memandang jama’ah perem­puan maupun orang-orang yang sepuh, itu bukan bagian dari ajaran Islam, sedikit pun! Bahkan hal demi­kian itu dapat menghilangkan pahala berhaji yang semestinya ia peroleh, dan bahkan boleh jadi dia telah me­lakukan perbuatan dosa dalam ber­haji. Wal ‘iyazu billah.

Zawiyah alKisah

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Previous
Next Post »