Arif Billah

"Orang Zahid asing di dunia, karena akhirat adalah tempat tinggalnya, sedangkan orang Arif (Ahli Ma‘rifat) asing di akhirat, karena ia berada di sisi Allah S.w.t"


Abu Sa'id Ahmad bin Isa al-Kharraz R.a pernah ditanya, "Apakah seorang arif dapat sampai kepada suatu keadaan yang air mata tidak keluar lagi?", ia menjawab, "Ya, air mata akan keluar hanya ketika mereka dalam perjalanan menuju Allah S.w.t. Apabila mereka telah berada pada hakikat kedekatan (dengan Allah S.w.t) dan merasakan lezatnya wushul (sampai kepada Allah S.w.t) berkat anugerah-Nya, maka air mata tidak dapat menetes lagi,".

Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin Atha' al-Adamiy R.a berkata, "Seorang arif, diamnya menjadi tasbih, bicaranya adalah penyucian, tidurnya adalah dzikir dan terjaganya (tidak tidurnya) adalah shalat. Hal itu karena setiap nafas yang keluar merupakan musyahadah (penyaksikan perbuatan Allah S.w.t) dan mu'ayanahnya (melihat Allah S.w.t dengan mata hati).", "Seorang arif tidak ada taklif baginya, artinya hilangnya rasa berat dan payah daripadanya. Karena perbuatan (ibadah) yang dirasa berat oleh orang lain, ia tidak merasakan berat, bahkan laksana keluar masuknya napas dari hidung.".

Abu Mughis aI-Husain bin Manshur al-Hallaj R.a berkata, "Tanda seorang arif ialah hatinya merasa kosong dari dunia dan akhirat.".

Abu Bakar bin Dawud ad-Dainury R.a berkata, "Ahli Ma'rifat akan selalu hidup karena hidupnya Allah S.w.t yang mereka bermakrifat kepada-Nya. Jadi, tidak ada kehidupan yang sesungguhnya kecuali bagi Ahli Ma'rifat, tidak yang lainnya".

Abu Muhammad Abdulah bin Muhammad al-Rasiby R.a berkata, "Allah S.w.t menciptakan para Nabi untuk mujalasah (duduk bersama-Nya), Dia menciptakan orang-orang arif untuk muwashalah (berhubungan atau berkomunikasi), Dia menciptakan orang-orang shaleh untuk mulazamah (konsisten dalam iman, Islam, dan Ihsan), dan Dia menciptakan orang-orang mukmin untuk mujahadah (bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu) dan ibadah.".

Al-Arif billah Sayyid Ibrahim Ad-Dasuqi al-Quraisyi R.a.berkata, "Apabila seorang arif telah sempurna pada maqam 'irfan (suatu kedudukan di sisi Allah) maka Allah mewariskan ilmu tanpa perantara, dapat mengambil ilmu yang tertulis dari alwah ma'ani (lembaran-lembaran yang berisi ilmu Allah yang tersimpan), lalu ia dapat memahami rumusnya, mengenali gudang-gudangnya, dapat membedah rahasianya, mengerti nama dan tulisannya, dan Allah S.w.t memperlihatkan kepada berbagai macam ilmu yang tersimpan di dalam titik-titik. Seandainya tidak takut menimbulkan keingkaran manusia, niscaya mereka mengucapkannya dengan kata-kata yang membingungkan akal pikiran. Demikian pula mereka dapat memahami berbagai macam isyarat bahasa yang berbeda-beda. Mereka juga dapat memahami makna seluruh huruf, qatha (bacaan putus), washal (bacaan bersarnbung), hamz (hamzah), syakal (harakat), rafa (istilah dalam Nahwu), nashab (istilah dalam Nahwu), apa yang tidak terbatas dan tidak dapat dipahami selain oleh mereka.

Demikian pula mereka dapat memahami apa yang tertulis pada daun-daun pohon, air, dan udara; apa yang ada di daratan dan di lautan; apa yang tertulis pada kubah kemah langit, dan apa yang berada pada dahi manusia dan jin; dan apa yang terjadi di dunia dan di akhirat. Demikian pula mereka dapat memahami seluruh apa yang tertulis tanpa terlihat tulisannya yang berada di atas bahkan di atasnya lagi, yang berada di bawah bahkan di bawahnya lagi. Semua tidaklah mengherankan bagi orang yang bijaksana, karena mereka mendapatkan itu semua dari Allah S.w.t Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui,"

Seorang arif ialah orang yang memandang segala macam perbuatan baiknya itu boleh jadi merupakan dosa-dosanya. Seandainya Allah S.w.t menyiksanya disebabkan keteledorannya dalam perbuatan baiknya itu, niscaya itu merupakan keadilan.".

Dawud al-Kabier bin Makhila R.a. berkata, "Kezuhudan (sikap tidak mementingkan duniawi atau sikap hati-hati) orang-orang arif di dunia dan akhirat itu karena mereka melihat sesuatu yang lebih mulia, lebih tinggi, dan lebih luhur lagi (di sisi Allah S.w.t.)."

"Seorang arif tidak diam sama sekali walaupun satu napas, melainkan sebagai siksaan bagi orang-orang yang hidup pada masanya, dan tidak akan berbicara sepatah kata pun, kecuali bermanfaat bagi setiap orang yang mendengarnya"

"Seorang arif tidak mempunyai hati yang ia hidup dengannya. Karena ia hidup bersama Tuhannya, bukan dengan hatinya".

"Engkau mendengar satu kata yang mendidik dalam sekejap dari orang arif lebih utama daripada pendidikan bapak dan gurumu terhadapmu dalam urusan lahir dua puluh tahun, karena orang arif mendidik jiwamu, sedangkan selain orang arif mendidik nafsumu",

"Was-was bisa masuk ke dalam. hati seseorang yang sedang shalat dan tidak pada orang yang sedang berada di depan orang arif mendengarkan bicaranya, karena orang shalat itu bermunajat (berbicara) kepada tuhannya, sedangkan orang yang mendengarkan orang arif berbicara itu diajak bicara oleh Tuhannya".

"Orang yang memberikan minum kepadamu dari jasadmu maka ia telah aniaya kepadamu; orang yang memberikan minum kepadamu dari nafsumu maka ia telah aniaya kepadamu; orang yang memberikan minum kepadamu dari akal pikiranmu maka ia telah aniaya kepadamu; dan orang yang memberikan minum kepadamu dari minuman hatimu maka ia telah menghidupkanmu".

"Termasuk anugerah Allah Swt. yang terbesar kepada hambahamba-Nya ialah Ia menampakkan seorang arif di antara mereka, meskipun mereka tidak men genal dan tidak melihatnya"

Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili R.a berkata; "Orang arif tidak mempunyai dunia, karena dunianya untuk akhiratnya dan akhiratnya untuk Tuhannya"

"Orang zahid asing di dunia, karena akhirat adalah tempat tinggalnya, sedangkan orang arif asing di akhirat, karena ia berada di sisi Allah S.w.t".

Al-Ustad Sayyid Ali R.a berkata, "Orang Arif billah (orang yang mengenal Allah S.w.t) apabila berdzikir kepada Allah S.w.t, ia melihat-Nya berdzikir kepada dirinya sedangkan ia mendengar dzikir-Nya itu. Dernikianlah, orang yang mengenai orang arif ini dengan penuh keyakinan maka sesungguhnya ia hakikat dari yang dikenalnya"

"Orang yang mengenal al-Haq (Allah S.w.t) maka seluruh waktunya adalah malam qadar".

Sayyid Syaikh Muhammad Abul Mawahib Asy-Syadzili R.a berkata, "Orang arif selalu berkembang keadaannya selama hidupnya dan ia tidak dikenal kecuali setelah meninggalnya".

Imam Al-Ghazali R.a berkata, "Setiap satu napas orang arif itu sarna dengan seribu derajat orang mati syahid".

Jika mempelajari dengan cermat ajaran-ajaran agama, kita dapat memahami bahwa puncak dan inti dari semua­nya adalah Mengenal Allah, Ma‘rifat kepada Allah. Dan inilah yang dirindukan dan dicari oleh setiap mukmin yang se­sungguhnya.

Betapa tingginya keduduk­an ma‘rifat kepada Allah dan orang-orang yang mencapainya disebutkan oleh pengarang dalam uraian berikut ini dan dijelaskan oleh pensyarah, yakni Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, dalam kitab Salalim al-Fudhala. Selain itu dalam uraian ini juga ditambahkan beberapa tambahan keterangan dari pensyarah yang lain, yaitu Sayyid Bakri Syatha, dalam kitabnya, Kifayah al-Atqiya’. Marilah kita perhatikan apa yang dikatakan pengarang dan penjelasan lebih lanjut dari pensyarah.

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya Hidayah Al-Adzkiya’, mengatakan: "Orang-orang yang Ma‘rifat terhadap Tuhan, mereka itu lebih utama daripada orang ahli ilmu furu‘ dan ilmu ushul dalam hal kesempurnaannya. Karena satu raka'at orang yang ma‘rifat adalah lebih utama daripada seribu raka'at orang yang alim, maka terimalah".

Penjelasan K.H. Saifuddin Amsir mengenai perkataan tersebut; Orang-orang yang ma‘rifat kepada Tuhan itu lebih utama daripada semua ahli fiqih dan ahli tauhid. Bagaimana tidak, mereka adalah pemilik pancaran sinar terang, sebagaimana yang dikata­kan Syaikh Ahmad bin ‘Alan. Syaikh Al-Aydrus berkata dengan mengutip pen­da­pat sebagian ulama, “Satu raka'at shalat yang dilakukan seorang arif itu lebih utama daripada seribu raka'at orang alim. Sedangkan satu napas dari se­orang ahli hakikat tauhid itu lebih utama daripada amal ibadah seluruh orang alim dan orang ma‘rifat.”

Karena ma‘rifat kepada Allah meng­ungguli segala sesuatu, mereka yang memilikinya lebih utama dibandingkan para ahli fiqih dan tauhid yang tidak memilikinya. Karena kemuliaan suatu ilmu itu tergantung kemuliaan yang diketahui dengan ilmu itu dan buahnya.

Ada ulama yang mengatakan, "Orang arif itu di atas apa yang ia ucap­kan, dan orang alim itu di bawah apa yang ia ucapkan". Syaikh Ruwaim ber­kata, “Sikap riya' orang-orang ma'rifat itu lebih utama daripada keikhlasan para murid (orang-orang yang sedang menuju Allah S.w.t).”.

Ketahuilah, di antara tanda-tanda ma‘rifat kepada Allah adalah terdapatnya perasaan takut yang sesungguhnya ke­pada Allah. Barang siapa bertambah ma‘rifatnya, bertambah pula rasa takut­nya kepada-Nya. Dan ma‘rifat itu menim­bulkan ketenangan.

Abu Ya‘qub As-Susi pernah ditanya; "Apakah orang yang Arif (Ahli Ma‘rifat) itu dapat merasa senang dengan sesuatu selain Allah?", Ia menjawab, "Apakah orang arif itu melihat selain Allah sehingga ia senang dengannya?", Kemudian ia ditanya lagi, "Jadi de­ngan pandangan apa ia melihat segala sesuatu?", Ia menjawab, "Dengan pandangan fana".

Maksud perkataan Abu Ya‘qub itu, orang arif selalu melihat dan selalu me­nyadari bahwa segala sesuatu itu se­bagai sesuatu yang akan binasa. Se­dang­kan orang yang tidak arif, meskipun tahu bahwa segala sesuatu selain Allah pasti akan binasa, terkadang lupa.

Abu Yazid pernah mengatakan, "Orang yang arif itu bagaikan orang yang terbang, sedangkan orang zuhud itu ba­gaikan orang yang berjalan, dan orang arif itu matanya menangis tetapi hatinya tertawa.". Sedangkan Al-Junaid mengata­kan,

"Tidaklah seseorang itu disebut arif sampai ia seperti bumi yang dipijak oleh orang yang baik dan yang tidak baik, seperti awan yang memayungi segala sesuatu, dan seperti hujan yang mengairi apa yang ia sukai dan tidak ia sukai.".

Al-Imam Al-Ghazali mengatakan, "Ma‘rifat ke­pada Allah adalah sesuatu yang paling lezat dan tak ada kelezatan yang me­lebihinya". Karena itu, Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Allah memiliki hamba-hamba yang perasaan takut kepada ne­raka dan berharap terhadap surga saja tidak dapat menyibukkannya dari Allah, lalu bagaimana dunia dapat menyibuk­kan mereka dari Allah?”

Syekh Abu Bakar Al-Warraq ber­pen­dapat, “Diamnya orang arif itu lebih bermanfaat, dan ucapannya itu lebih diinginkan dan lebih baik.” Syaikh Dzun Nun berkata, “Orang-orang zuhud ada­lah raja-raja akhirat, dan mereka adalah orang-orang ahli ma`rifat yang faqir”, demikian penuturan Syekh Al-Qusyairi.

~ Wassalam ~

saduran ringkas
Previous
Next Post »